Senin, 28 November 2011

Puskesmas Sebagai Agen Pemberdayaan Masyarakat

(Optimalisasi kinerja Puskesmas melalui Pengorganisasian Masyarakat)

Lebih dari tiga dasawarsa Republik Indonesia mencoba berupaya menyelesaikan persoalan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan R.I telah mengembangkan berbagai inovasi strategi peningkatan pelayanan kesehatan yang lebih efektif, efisien dan terpadu. Gagasan-gagasan baru untuk menyelesaikan berbagai persoalan pelayanan kesehatan dicoba namun demikian faktanya adalah kualitas pelayanan kesehatan di Negara Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan Negara tetangga. Berbicara mengenai data kesehatan agak membuat kita miris ketika ada temuan bahwa negara kita menduduki peringkat atas dalam hal jumlah kematian bayi diantara anggota SEAMIC (Sout East Asia Medical Center). Sebagian masyarakat masih mempunyai kesulitan dalam memperoleh derajat pelayanan kesehatan yang optimal.


Desentralisasi permasalahan kesehatan di tingkat nasional ke daerah merupakan inovasi yang patut disambut dengan baik untuk menanggulangi berbagai masalah kesehatan seperti disparitas pelayanan kesehatan yang masih tinggi, rendahnya kualitas kesehatan penduduk miskin, rendahnya kondisi kesehatan lingkungan, birokratisasi pelayanan Puskesmas, dan minimnya kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010, dibutuhkan strategi pengorganisasian komunitas yang terpadu.

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan yang terinstitusionalisasi mempunyai kewenangan yang besar dalam mencipta inovasi model pelayanan kesehatan di aras basis. Untuk itu dibutuhkan komitmen dan kemauan untuk meningkatkan/meratakan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan dengan melakukan revitalisasi sistem kesehatan dasar dengan memperluas jaringan yang efektif dan efisien di Puskesmas, peningkatan jumlah dan kualitas tenaga kesehatan/revitalisasi kader PKK, pembentukan standar pelayanan kesehatan minimum untuk kinerja sistem kesehatan yang komprehensif, serta memperbaiki sistem informasi pada semua tingkatan pemerintah.

Fungsi Puskesmas terdiri dari tiga yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan dan pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama. Dari fungsi Puskesmas ini jelas peran Puskesmas bukan saja persoalan teknis medis tetapi juga bagaimana keterampilan sumber daya manusia yang mampu mengorganisir modal sosial yang ada di masyarakat. Fungsi dan peran Puskesmas sebagai lembaga kesehatan yang menjangkau masyarakat di wilayah terkecil membutuhkan strategi dalam hal pengorganisasian masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan kesehatan secara mandiri.

PEMBAHASAN

Revitalisasi Puskesmas melalui strategi pengorganisasian masyarakat mempunyai misi untuk mengoptimalkan fungsi dan kinerja Puskesmas terutama dalam penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan maupun upaya kesehatan masyarakat di aras komunitas basis. Sumber daya manusia yang ada di Puskesmas selain menguasai teknis mengenai penanganan permasalahan kesehatan sebaiknya juga dibekali dengan penguasaan keterampilan untuk melakukan pengorganisasian komunitas.

Pengorganisasian masyarakat merupakan proses untuk membangun kekuatan komunitas dengan melibatkan anggota masyarakat sebanyak mungkin melalui proses menemukan modal sosial, problematika, merumuskan alternatif pemecahan masalah –dalam hal ini kesehatan- serta membangun institusi sosial yang demokratis, berdasarkan aspirasi, keinginan, kekuatan dan potensi yang tumbuh dalam komunitas. Tujuan proses pengorganisasian komunitas dalam merevitalisasi peran Puskesmas antara lain:

1. Membangun kekuatan masyarakat: Pengorganisasian masyarakat bertujuan untuk mendorong secara efektif modal sosial masyarakat agar mempunyai kekuatan untuk menyelesaikan permasalahan dalam hal kesehatan secara mandiri. Melalui proses pengorganisasian, masyarakat diharapkan mampu belajar untuk menyelesaikan ketidakberdayaannya dan mengembangkan potensinya dalam mengontrol kesehatan lingkungannya dan memulai untuk menentukan sendiri upaya-upaya strategis di masa depan;

2. Memperkokoh kekuatan komunitas basis: Pengorganisasian masyarakat bertujuan untuk membangun dan menjaga keberlanjutan kelompok-kelompok kesehatan (Posyandu, Polindes, Dokter Kecil dan lainnya) yang kokoh yang dapat memberikan pelayanan terhadap permasalahan-permasalahan dan memfasilitasi aspirasi tentang permasalahan kesehatan di aras komunitas basis. Organisasi di aras komunitas dapat menjamin tingkat partisipasi, pada saat bersamaan, mengembangkan dan memperjumpakan dengan organisasi atau kelompok lain untuk semakin memperkokoh kekuatan komunitas;

3. Membangun aliansi: Puskesmas dan kelompok kesehatan di aras komunitas harus membangun dan tergabung dalam aliansi-aliansi strategis untuk menambah proses pembelajaran dan menambah kekuatan diri.


Adapun langkah yang menjadi kompas dalam melakukan pengorganisasian kesehatan di masyarakat antara lain:


1. INTEGRASI- Sebuah proses dimana seorang penggerak kesehatan masyarakat terlibat bersama di aras komunitas dan menjalin komunikasi serta relasi dengan cara belajar dari budaya yang berkembang di masyarakat. Akan lebih baik jika seorang penggerak kesehatan masyarakat tinggal bersama dengan komunitas untuk membangun kepercayaan dan mempelajari segala potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas;

2. INVESTIGASI MODAL SOSIAL MASYARAKAT- Investigasi modal sosial merupakan sebuah proses pembelajaran dan analisa yang sistematis mengenai struktur sosial-budaya dan kekuatan atau potensi yang terdapat di target masyarakat yang diorganisir. Dari proses ini diharapkan menghasilkan data terolah yang mampu menggambarkan potret masyarakat yang diorganisir misalnya seperti community leader (pemimpin lokal di aras komunitas basis), potensi kelompok swadaya, tingkat kesehatan, dan lainnya;

3. MEMBANGUN RENCANA DAN STRATEGI- Perencanaan merupakan sebuah proses untuk mengidentifikasi tujuan dan menterjemahkan tujuan tersebut ke dalam kegiatan yang nyata/konkrit dan spesifik. Perencanaan akhir dan pengambilan keputusan akhir dilakukan oleh komunitas yang diorganisir;

4. GROUNDWORK: Proses penajaman dari langkah pengorganisasian, merupakan proses dialogis dan transformatif. Pendekatan yang dilakukan bukan lagi orang per orang tetapi sudah dengan melakukan kelompok-kelompok kecil dengan melakukan dialog mengenai pandangan, impian, analisis, kepercayaan, perilaku yang berkaitan dengan isu/persoalan yang dikeluhkan oleh komunitas. Proses ini bertujuan untuk memastikan keterlibatan kelompok dalam melakukan analisa, pemecahan masalah, dan aksi bersama untuk memecahkan permasalahan tersebut.

5. RAPAT-RAPAT- Mencari tahu budaya, sejarah, kondisi ekonomi, lingkungan, pemimpin lokal, aktivitas formal dan informal, dalam komunitas. Perjumpaan dengan kelompok besar di aras komunitas dilakukan juga untuk mendiskusikan secara formal mengenai isu yang akan dipecahkan bersama;

6. ROLE PLAY: Merupakan sebuah proses dimana anggota kelompok di aras komunitas melakukan simulasi peran melalui dialog, diskusi, lobi, negosiasi, atau bahkan advokasi dalam sebuah studi kasus terkait dengan isu kesehatan yang menjadi permasalahan. Berbagai skenario sebaiknya didesain sehingga memberikan proses pembelajaran bagi komunitas dalam proses penyelesaian masalah;

7. MOBILISASI- Merupakan sebuah langkah aksi dari komunitas untuk mencoba menyelesaikan permasalahan yang muncul. Bekaitan dengan isu yang diangkat mungkin ini bisa berupa negosiasi dan atau dialog disertai dengan tip dan trik yang telah dipersiapkan. Terkait dengan permasalahan ini bisa berupa tindakan mobilisasi anggota dalam komunitas untuk berpartisipasi dalam memulai kegiatan-kegiatan yang dapat menyelesaikan permasalahan mereka. Misalnya kampanye operasi jentik nyamuk, orasi kesehatan dan lainnya;

8. EVALUASI- Sebuah proses dimana anggota kelompok kesehatan mempunyai keterampilan untuk menilai tentang proses pembelajaran apa yang mereka dapat dari serangkaian kegiatan yang dilakukan, apa yang tidak diraih terkait dengan indikator/hasil yang ditetapkan dalam perencanaan, apa kelebihan dan kelemahan dari proses pelaksanaan aksi yang telah dilakukan dan bagaimana cara meminimalkan segala kelemahan dan kesalahan yang telah dilakukan;

9. REFLEKSI- Sebuah langkah yang seringkali dianggap sepele tetapi disinilah kekuatan spirit sebuah gerakan dalam proses pengorganisasian. Proses refleksi adalah sebuah proses dimana dimensi rasa lebih mengutama untuk kemudian mendorong proses kesadaran diri dari anggota kelompok dalam komunitas. Dalam refleksi, proses pencerahan apa yang terjadi di masing-masing anggota kelompok di aras komunitas dibagikan berdasarkan pengalaman mereka ketika melakukan aksi;

10. PELEMBAGAAN KELOMPOK KESEHATAN- tujuan dari pengorganisasian kesehatan komunitas salah satunya adalah membangun organisasi rakyat yang kokoh sehingga mampu menjadi media yang dapat menjembatani segala persoalan dan aspirasi yang ada di aras komunitas. Proses untuk menentukan pemimpin organisasi, peran-peran dalam organisasi disepati secara demokratis. Demikian juga budaya organisasi dan kesiapan manajemen juga diinisiasi untuk menjamin keberlanjutan organisasi.


KESIMPULAN DAN SARAN


Revitalisasi Puskesmas untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui strategi pengorganisasian komunitas dilakukan untuk memberdayakan masyarakat dalam hal penyelesaian masalah kesehatan di aras komunitas basis. Selain itu juga mendorong potensi masyarakat di aras komunitas basis agar dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan dengan penekanan pencegahan penyakit melalui keswadayaan yang berkelanjutan dan kontekstual dengan kebutuhan lokal. Secara skematis dapat dilihat di gambar berikut: Strategi komunitas secara khusus dilakukan untuk melibatkan secara aktif dinamika masyarakat untuk mencegah dan mengatasi faktor risiko potensial penyakit menular maupun tidak menular. Selain itu juga menciptakan agen dengan membentuk kelompok-kelompok kerja masyarakat yang peduli kesehatan dengan PKK desa sebagai penggerak dan LSM/ KSM/ LPM sebagai pendamping.


DAFTAR PUSTAKA:

1.Modul Pengorganisasian Komunitas, 2005. Christianto, Pusdakota Ubaya (www.pusdakota.org) tidak dipublikasikan;

2.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Sk/Viii/2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (Klb);

3.Evaluasi Model Alokasi Anggaran Kesehatan Untuk Penduduk Miskin Dalam Desentralisasi Kesehatan Dra. Chriswardhani Suryawati, Mkes (Fkm Universitas Diponegoro);

4.Governance And Decentralization Survey 1+. 2004. Laporan Penelitian, Kerjasama Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan Ugm – Bank Dunia, Yogyakarta, Tidak Dipublikasikan;

5.McTaggart, R. (Spring 1991). Principles for Participatory Action Research. Adult Education Quarterly. vol. 4, no. 3;

6.Buku Petunjuk Tentang Kemiskinan dan Analisis Sosial, ADB. 2001. Manila (Lampiran 4)

Minggu, 27 November 2011

UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS

Memperhatikan Visi Pemerintah Kabupaten Demak yang berbunyi ”Terwujudnya Masyarakat Demak Yang Semakin Sehat d” dan dibarengi tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang semakin meningkat dTean mendesakan Mandiri, perlu mendapatkan perhatian yang serius bagi semua kalangan yang berkompeten, khususnya Dinas Kesehatan dan Puskesmas melalui strategi “Puskesmas Idaman”, yaitu Puskesmas yang fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal.
 
Puskesmas Idaman adalah Puskesmas dengan pelayanan kesehatan  bermutu yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan serta memberi pelayanan yang sesuai dengan Standart Operating Procedure ( SOP ) pelayanan kesehatan. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas secara terus menerus dengan Manajemen Kualitas Terpadu ( Total Quality Management ).
 
” Puskesmas Idaman yang bermutu ”, merupakan visi Puskesmas Idaman, sedangkan strategi yang dipakai untuk mewujudkannya adalah dengan (1) meningkatkan mutu tenaga kesehatan ” PusKesMas ” yang mencakup tiga aspek ” Pus ” , ” Kes ” , dan ” Mas ”. Adapun rincian ketiga aspek tersebut adalah PUS : merupakan singkatan : Profesionalisme, Unggul dan Santun, KES : merupakan singkatan : Komitmen, Etika , dan Semangat atau Motivasi yang tinggi dan MAS : merupakan singkatan dari Manusiawi, Asuh dan Simpati (2) meningkatan mutu pelayanan kesehatan ” Idaman ” yang mencakup empat aspek ” Indah , Damai , Aman dan Nyaman ”.
 
Untuk mencapai visi Puskesmas Idaman tersebut diatas, ditetapakan misi sebagai berikut :
1. Memastikan Pelanggan Puskesmas.
2. Memahami psikografi Pelanggan Puskesmas.
3. Menata Mindset Tim Pelayanan Prima di Puskesmas Idaman.
4. Memberi kesempatan pada “front liner” untuk ikut mengambil keputusan dan memberikan saran 
    dalam pelaksanaan pelayanan prima di Puskesmas.
5. Mengembangkan pelayanan kesehatan yang tak terlupakan pada Pelanggan.
6. Menjalin komunikasi terus menerus dengan Pelanggan untuk menciptakan ”Customer Market 
    Relationship”.
7. Melakukan penyesuaian organisasi terus menerus untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
 
Puskesmas Rawat Inap ”IDOLA” adalah Puskesmas rawat inap dengan fasilitas ruangan yang Indah dan rapi, suasana pelayanan yang Damai, memperlakukan pasien secara Obyektif, menangani pasien secara Lancar serta Aman, sebagai upaya untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu serta terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
 
Puskesmas Rawat Inap “IDOLA” dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu serta terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, menggunakan strategi “SENYUM” dengan rincian sebagai berikut:
”S”:      Sambut pasien dengan senyum dan salam yang hangat
”E”:      Eksplorasi dan bantu menemukan masalah kesehatan pasien
”N”:      Niat yang tulus untuk menyelesaikan masalah kesehatan pasien dengan kemampuan terbaik
”Y”:      Yakinkan pada pasien bahwa kita akan menangani pasien secara:
”U”:      Umum, artinya memperlakukan semua pasien secara adil tanpa membedakan status sosial, 
           suku, agama, maupun politik.
”M”:     Mutu, artinya pelayanan kesehatan yang kita berikan adalah sesuai standar profesi dan 
           memuaskan pelanggan.
 
” Pasien sembuh dan puas”, merupakan visi Puskesmas Idola, untuk mencapai visi tersebut diatas, ditetapkan misi sebagi berikut:
1.  Mengembangkan sumber daya manusia yang profesional, unggul dan berkualitas. SDM yang 
     dimaksud terdiri dari:  dokter spesialis empat besar (bedah, kandungan dan kebidanan, anak dan 
     penyakit dalam), dokter umum, bidan, perawat, nutrisionis dan administrasi.
2.  Melengkapi dan menyajikan sarana dan prasana Puskesmas Rawat Inap yang bersih dan rapi.
3.  Menata Mindset Tim Pelayanan Prima di Puskesmas Rawat Inap ”IDOLA”.
4.  Memahami psikografi Pelanggan Puskesmas.
5.  Mengembangkan pelayanan kesehatan yang tak terlupakan pada Pelanggan.
6.  Menjalin komunikasi terus menerus dengan Pelanggan untuk menciptakan ”Customer Market 
     Relationship”.
7.  Melakukan penyesuaian organisasi terus menerus untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
   
Kebijakan Puskesmas Idaman
1   Tenaga kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan: profesioanal sesuai dengan 
     pendidikannya, unggul dalam prestasi serta sopan dan santun dalam memberikan pelayanan.
2.  Tenaga kesehatan berpenampilan rapi dan bersih, khusus untuk dokter dan dokter gigi memakai 
      jas dokter pada saat melayani pasien.
3.  Obat yang diberikan kepada pasien adalah obat generik berblister
4.  Pelanggan diperlakukan secara ramah dan sopan serta dengan penuh simpati dibantu sepenuhnya 
     apa keperluannya datang ke Puskesmas.
5.  Tenaga kesehatan cepat dan tanggap dalam merespon keluhan dan keinginan pelanggan
6.  Semua pegawai Puskesmas mempunyai komitmen, etika dan semangat/motivasi yang tinggi untuk 
     melaksanakan pelayanan prima di Puskesmas
7.  Tempat pelayanan kesehatan ditata rapi dan bersih, dan ber-AC, sehingga memberi kenyamanan 
     pada pasien dan tenaga kesehatan yang melayaninya
8.  Ruang tunggu pasien ditata rapi dan bersih serta dilengkapai sarana hiburan yang sesuai dengan 
     harapan pasien
9.  Kamar mandi dan WC dibuat bersih, tidak berbau dan cukup air, serta dibersihkan setiap hari
10. Lingkungan Puskesmas dibuat taman yang membuat suasana asri dan segar
11.Supervisi dilaksanakan setiap tiga bulan sekali dan ditindaklanjuti dengan pertemuan pemecahan 
     masalah di Dinas Kesehatan
12.Survey kepuasan pelanggan dilaksanakan setiap tiga bulan sekali serta ditindaklanjuti dengan 
     perbaikan pelayanan kesehatan
13.Manajemen Puskesmas Idaman berpedoman pada SK Menkes RI No: 128/MENKES/SK/II/2004 
     tentang: Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat.
 
Kebijakan Puskesmas Idola
1.  Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan harus profesional sesuai dengan 
     pendidikannya, unggul dalam prestasi serta sopan dan santun dalam memberikan pelayanan 
     kepada pelanggan.
2.  Tenaga kesehatan berpenampilan rapi dan bersih, khusus untuk dokter dan dokter gigi memakai 
     jas dokter pada saat melayani pasien.
3.  Obat yang diberikan kepada pasien adalah obat generik berblister
4.  Pelanggan diperlakukan secara ramah dan sopan serta dengan penuh simpati dengan strategi 
     ”SENYUM” dibantu sepenuhnya menyelesaikan masalah kesehatannya
5.  Tenaga kesehatan harus cepat dan tanggap dalam merespon keluhan dan keinginan pelanggan
6.  Pegawai Puskesmas Rawat Inap mempunyai komitmen, etika dan semangat/motivasi yang tinggi 
     untuk melaksanakan pelayanan prima di Puskesmas Rawai Inap
7.  Ruang pelayanan rawat inap ditata rapi dan bersih, dan ber-AC, sehingga memberi kenyamanan 
     pada pasien serta tenaga kesehatan yang melayaninya
8.  Kamar mandi dan WC dibuat bersih, tidak berbau dan cukup air, serta dibersihkan setiap hari
9.  Lingkungan Puskesmas dibuat taman untuk mewujudkan suasana asri dan segar
10.Supervisi dilaksanakan setiap tiga bulan sekali dan ditindaklanjuti dengan pertemuan pemecahan 
     masalah di Dinas Kesehatan
11. Survey kepuasan pelanggan dilaksanakan setiap tiga bulan sekali serta ditindaklanjuti dengan 
      perbaikan pelayanan rawat inap

Selasa, 23 Agustus 2011

7 KONSEP DASAR PEMBENAHAN KINERJA MANAJEMEN PUSKESMAS

PARA PAKAR mengatakan, manajemen adalah art and science to organize, to arrange the members or employee in order to reach the goasl of organization. Seni dan ilmu menata, mengatur, menggerakkan para anggota atau karyawan untuk mencapai tujuan organisasi, memang menjadi tantangan setiap manajer. Bagaimana seni dan ilmu itu bisa diwujudkan dan dikembangkan bergantung kepada kreatifitas para pimpinan organisasi, karena setiap organisasi mempunyai tujuan sesuai visi dan misi organisasi.
PEMBENAHAN organisasi manajemen puskesmas, juga memerlukan seni dan pengetahuan untuk memahami hal-hal apa yang terlibat dalam mencapai tujuan serta apa yang menghambat pencapaian tujuan institusi. Berdasarkan analisis pengalaman dari berbagai sumber informasi, ada tujuh konsep (7 K) yang dikembangkan untuk membenahi kinerja manajemen puskesmas.
1. KOMUNIKASI :
  • Menyampaikan apa yang akan dibenahi memerlukan seni komunikasi agar tidak menimbulkan salah persepsi atau miskomunikasi, baik secara interpersonal atau lewat pertemuan organisasi seperti minilokakarya (minlok) puskesmas
2. KOORDINASI :
  • Menggabungkan berbagai karakter yang berbeda dalam organisasi, memerlukan keterpaduan lintas program dan lintas sektor untuk mendukung pencapaian target.
3. KOMITMEN :
  • Bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi dengan penuh sikap profesional dan dedikasi tinggi, sesuai standar profesi, untuk memberikan yang terbaik.
4. KONSISTEN :
  • Apa yang telah disepakati juga harus secara cepat dan tepat dijalankan bersama-sama, sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing staf/pegawai yang proporsional.
5. KONTINYU :
  • Aktifitas harus terus berkelanjutan dalam menjalankan kegiatan yang sudah diarahkan. Terus menerus mempunyai inisiatif, aktif dan kreatif dalam menjalankan tugas
6. KONSEKUEN :
  • Sanggup menjalankan amanah dengan sikap penuh tanggung jawab menurut tugas yang telah diembankan untuk dapat mengembangkan potensi diri setiap pegawai
7. KOOPERATIF :
  • Kerjasama menyeluruh antara unit organisasi maupun dengan unit kerja lainnya yang dapat mendukung kemajuan organisasi.
APAKAH TUJUH KONSEP tersebut hanya sekadar teori yang seringkali sulit dijalankan? Semua itu berpulang kembali pada seni dan keilmuan dari masing-masing manajer puskesmas. Para kepala puskesmas juga perlu mendapatkan dukungan bersama para staf untuk pembenahan kinerja manajemen yang telah menjadi tujuan organanisasi.
http://www.puskel.com 

Rabu, 09 Februari 2011

Penyakit Leptospirosis pada Manusia

Salah satu penyakit yang dapat terjadi setelah banjir adalah leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan hewan. Lebih tepatnya, penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia, termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia.

Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir. Di beberapa negara, leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit Stuttgart, penyakit Weil, demam Canicola, penyakit Swineherd, demam rawa atau demam lumpur.

Penyakit ini disebabkan bakteri leptospira berbentuk spiral yang mempunyai ratusan serotipe. Bakteri leptospira bisa terdapat di genangan air saat iklim panas dan terkontaminasi oleh urin hewan. Leptospirosis dapat menyerang manusia akibat kondisi seperti banjir, air bah, atau saat air konsumsi sehari-hari tercemar oleh urin hewan.

Penemuan penderita sering tidak optimal karena sering terjadi
underdiagnosis atau misdiagnosis. Hal ini berakibat keterlambatan tatalaksana penderita yang dapat memperburuk prognosis. Meskipun sebenarnya penyakit ini pada umumnya mempunyai prognosis yang baik.


Etiologi

Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit) berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L biflexa adalah saprofitik.

Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies patogen yang tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil diidentifikasi. Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi.

Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda. Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus. Hewan tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia.

Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, hewan buas dan kucing. Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa hewan, misalnya L pomona dan L interrogans terdapat pada lembu dan babi, L grippotyphosa pada lembu, domba, kambing, dan tikus, L ballum dan L icterohaemorrhagiae sering dikaitkan dengan tikus dan L canicola dikaitkan dengan anjing. Beberapa serotipe yang penting lainnya adalah autumnalis, hebdomidis, dan australis.

Epidemiologi

Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang pada tahun 1916. (Inada R, Ido Y, et al: Etiology, mode of infection and specific therapy of Weil's disease. J Exp Med 1916; 23: 377-402.)

Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini.

Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur karena tanah lembab dan bersifat alkalis.

Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah diagnosis dan nonfatal.

Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah seperti Klaten, Demak atau Boyolali.

Beberapa tahun terakhir di derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan.

Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita
immunocompromised mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian.

Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi

Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai, seperti berenang atau rafting.

Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi leptospira lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang susu dapat terkena karena terkena pada wajah saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi pada pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang 8-29%.

Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan peningkatan sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi perjalanan rekreasi ke daerah tropis seperti berperahu kano, mendaki, memancing, selancar air, berenang, ski air, berkendara roda dua melalui genangan, dan kegiatan olahraga lain yang berhubungan dengan air yang tercemar. Berkemah dan bepergian ke daerah endemik juga menambahkan resiko.

Patofisiologi dan Patogenesa

Penularan penyakit ini bisa melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing, serangga, burung, landak, kelelawar dan tupai. Di Indonesia, penularan paling sering melalui hewan tikus. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Bisa juga melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi setitik urin tikus yang terinfeksi leptospira, kemudian dimakan dan diminum manusia.

Urin tikus yang mengandung bibit penyakit leptospirosis dapat mencemari air di kamar mandi atau makanan yang tidak disimpan pada tempat yang aman. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama penyebab leptospirosis. Beberapa jenis hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang leptospirosis, tetapi potensi hewan-hewan ini menularkan leptospirosis ke manusia tidak sehebat tikus.

Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal.

Saat kuman masuk ke ginjal akan melakukan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial dan nekrosis tubular. Ketika berlanjut menjadi gagal ginjal biasanya disebabkan karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati tampak nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer, ikterus terjadi karena disfungsi sel-sel hati.

Leptospira juga dapat menginvasi otot skletal menyebabkan edema (bengkak), vacuolisasi miofibril, dan nekrosis focal. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemi sirkulasi. Dalam kasus berat
disseminated vasculitic syndrome akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler.

Gangguan paru adalah mekanisme sekunder kerusakan pada alveolar and vaskular interstisial yang mengakibatkan hemoptu. Leptospira juga dapat menginvasi cairan humor (humor aqueus) mata yang dapat menetap dalam beberapa bulan, seringkali mengakibatkan uveitus kronis dan berulang.

Meskipun kemungkinan dapat terjadi komplikasi yang berat tettapi lebih sering terjadi self limiting disease dan tidak fatal. Sejauh ini, respon imun siostemik dapat mengeliminasi kuman dari tubuh, tetapi dapat memicu reaksi gejala inflamasi yang dapat mengakibatkan
secondary end-organ injury.

Manifestasi Klinis

Infeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang asimtomatis (tanpa gejala), sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hampir 15-40% penderita yang terpapar infeksi tidak mengalami gejala tetapi menunjukkan serologi positif.

Masa inkubasi biasanya terjadi sekitar 7-12 hari dengan rentang 2-20 hari. Sekitar 90% penderita dengan manifestasi ikterus (penyakit kuning) ringan sekitar 5-10% dengan ikterus berat yang sering dikenal dengan penyakit Weil.

Perjalanan penyakit leptospira terdiri dari 2 fase yang berbeda, yaitu fase septisemia dan fase imun. Dalam periode peralihan dari 2 fase tersebut selama 1-3 hari kondisi penderita menunjukkan beberapa perbaikkan.

Manifestasi klinis terdiri dari 2 fase yaitu fase awal dan fase ke-2. Fase awal tahap ini dikenal sebagai fase septicemic atau fase leptospiremic karena organisma bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Selama fase awal yang terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.

Karakteristik manifestasi klinis yang terjadi adalah demam, menggigil kedinginan, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis.

Fase ke-2 sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat di deteksi dengan isolasi kuman dari urin dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau cairan serebrospinalis.

Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan terjadi pada 0-30 hari atau lebih. Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal.

Gejala non spesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin sedikit lebih ringan dibandingkan fase awal dan 3 hari sampai beberapa minggu terakhir. Beberapa penderita sekitar 77% mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak respon dengan pemberian analgesik.

Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal meningitis. Delirium (tidak waras, kegilaan) juga didapatkan pada tanda awal meningitis, Pada fase yang lebih berat didapatkan gangguan mental berkepanjangan termasuk depresi, kecemasan, psikosis dan dementia.

Gangguan anikterik dapat dijumpai meningitis aseptik adalah sindrom manifestasi klinis yang paling penting didapatkan pada fase anikterik imun. Gejala meningeal terjadi pada 50% penderita. Palsi saraf kranial, ensefalitis, dan perubahan kesadaran jarang didapatkan.

Meningitis bisa terjadi apada beberapa hari awal, tapi biasanya terjadi pada minggu pertama dan kedua. Kematian jarang terjadi pada kasus anikterik. Gangguan ikterik : leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul ikterik. Nyeri perut dengan diare dan konstipasi terjadi sekitar 30%, hepatosplenomegali, mual, muntah dan anoreksia.

Uveitis terjadi pada 2-10% kasus dapat terjadi pada awal atau akhir penyakit, bahkan dilaporkan dapat terjadi sangat lambat sekitar 1 tahun setelah gejala awal penyakit timbul. Iridosiklitis and korioretinitis adalah komplikasi lambat yang akanan menetap selama setahun. Gejala pertama akan timbul saat 3 minggu hingga 1 bulan setelah paparan.

Perdarahan subkonjuntiva adalah komplikasi pada mata yang sering terjadi pada 92% penderita leptospirosis. Gejala renal seperti azotemia, pyuria, hematuria, proteinuria dan oliguria sering tampak pada 50% penderita. Kuman leptospira juga dapat timbul di ginjal. Manifestasi paru terjadi pada 20-70% penderita. Adenopati, rash, and nyeri otot juga dapat timbul.

Sindroma klinis tidak khas pada berbagai serotipe, tetapi beberapa manifestasi sering tampak pada serotipe tertentu. Misalnya ikterus didapatkan pada 83% penderita dengan infeksi L icterohaemorrhagiae and 30% pada L pomona. Rash eritematous pretibial sering didaptkan pada infeksi L autumnalis. Gangguan gastrointestinal pada infeksi dengan L grippotyphosa. Aseptic meningitis seringkali terjadi pada infeksi L pomona atau L canicola.

Sindrom Weil adalah bentuk leptospirosis berat dengan ditandai ikterus, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru, dan diatesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase ke dua, tetapi keadaan bisa memburuk setiap waktu. Kriteria keadaan masuk dalam penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik.

Manifestasi paru meliputi batuk, dispnu, nyeri dada, sputum darah, batuk darah, dan gagal napas. Vaskular dan disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya ikterus setelah 4-9 hari setelah gejala awal penyakit. Penderita dengan ikterus berat lebih mudah terjadi gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular.

Hepatomegali didapatkan pada kuadran kanan atas. Oliguri atau anuri pada nekrosis tubular akut sering terjadi pada minggu ke dua sehingga terjadi hipovolemi dan menurunya perfusi ginjal.

Sering juga didapatkan gagal multi-organ, rhabdomyolysis, sindrom gagal napas, hemolisis, splenomegali, gagal jantung kongestif, miocarditis, dan pericarditis. Sindrom Weil mengakibatkan 5-10%. Sebagian besar kasus berat sindrom dengan gangguan hepatorenal dan ikterus mengakibatkan mortalitas 20-40%. Angka mortalitas juga akan meningkat pada usia lanjut usia.

Leptospirosis dapat terjadi makular atau rash makulopapular, nyeri perut mirip apendisitis akut, pembesaran kelenjar limfoid mirip infeksi mononucleosis. Juga dapat menimbulkan manifestasi aseptic meningitis, encephalitis, atau
fever of unknown origin. Leptospirosis dapat dicurigai bila didapatkan penderita dengan flulike disease dengan aseptic meningitis atau disproporsi mialgia berat.

Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada penderita berbeda tergantung berat ringannya penyakit dan waktu dari onset timbulnya gejala. Tampilan klinis secara umum dengan gejala pada beberapa spektrum mulai dari yang ringan hingga pada keadaan toksis.

Pada fase awal pemeriksaan fisik yang sering didapatkan adalah demam seringkali tinggi sekitar 40oC disertai takikardi. Subkonjuntival suffusion, injeksi faring, splenomegali, hepatomegali, ikterus ringan, mild jaundice, kelemahan otot, limfadenopati dan manifestasi kulit berbentuk makular, makulopapular, eritematus, urticari, atau
rash perdarahan juga didapatkan pada fase awal penyakit.

Pada fase kedua manifestasi klinis yang ditemukan sesuai organ yang terganggu. Gejala umum yang didaptkan adalah adenopathy, rash, demam, perdarahan, tanda hipovolemia atau syok kardiogenik. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan ikterus, hepatomegali, tanda koagulopati. Gangguan paru didapatkan batuk, batuk darah, dispneu, dan distres pernapasan.

Manifestasi neurologi didapatkan palsi saraf kranial, penurunan kesadaran, delirium atau gangguan mental berkepanjangan seperti depresi, kecemasan, iritabel, psikosis, dan demensia.

Pemeriksaan mata terdapat perdarahan subconjuntiva, uveitis, tanda iridosiklitis atau korioretinitis. Gangguan hematologi yang ditemukan adalah perdarahan, petekie, purpura, ekimosis dan splenomegali. Kelainan jantung dijumpai tanda dari kongestif gagal jantung atau perikarditis.

Diagnosis

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui sejauh mana gangguan organ tubuh dan komplikasi yang terjadi.

1. Isolasi (pengambilan) kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita adalah standar kriteria baku. Urin adalah cairan tubuh yang palih baik untuk diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urin sejak gejala awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ke-3. Cairan tubuh lainnya yang mengandung leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang peluang untuk ditemukan isolasi kuman sangat pendek
2. Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber identifikasi penemuan kuman leptospira. Isolasi leptospira cenderung lebih sulit dan membutuhkan waktu diantaranya dalam hal referensi laboratorium dan membutuhkan waktu beberapa bulan untuk melengkapi identifikasi tersebut.
3. Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis. Tetapi, konfirmasi diagnosis ini lambat karena serum akut diambil saat 1-2 minggu setelah gejala awal timbul dan serum konvalesen diambil 2 minggu setelah itu. Antibodi antileptospira diperiksa menggunakan microscopic agglutination test(MAT).
4. Metoda laboratorium cepat dapat merupakan diagnosis yang cukup baik. Titer MAT tunggal sebesar 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi lapang gelap bila dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup bermakna.

Pemeriksaan Penunjang

Pada penderita yang dicurigai leptospirosis, selanjutnya harus dilakukan pemeriksaan laboratorium rutin untuk mengetehaui komplikasi dan keterlibatan beberapa organ tubuh. Pemeriksaan kadar darah lengkap (complete blood count-CBC) sangat penting.

Penurunan hemoglobin yang menurun dapat terjadi pada perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung trombosit untuk mengetahui komponen DIC. Blood urea nitrogen dan serum kreatinin dapat meningkat pada anuri atau oliguri tubulointerstitial nefritis yang dapat terjadi pada penyakit Weil.

Peningkatan serum bilirubin dapat terjadi pada obstruksi kapiler di hati. Agak jarang terjadi peningkatan Hepatocellular transaminases dan kurang bermakna, biasanya <200 U/L. Waktu koagulasi akan meningkat pada disfungsi hati atau DIC. Serum kreatin kinase (MM fraction) sering meningkat pada gangguan otot.

Analisis CSF bermanfaat hanya untuk melakukan eksklusi penyebab meningitis bakteri. Leptospires dapat diisolasi secara rutin dari CSF, tetapi penemuan ini tidak akan merubah tatalaksana penyakit.

Pemeriksaan pencitraan yang didapatkan adalah kelainan pada foto polos paru berupa air space bilateral. Juga dapat menunjukkan kardiomegali dan edema paru yang didapatkan miokarditis. Perdarahan alveolar dari kapilaritis paru dan
patchy infiltrate multiple yang dapat ditemukan pada parenkim paru. Ultrasonografi traktus bilier dapat menunjukkan kolesistitis akalkulus.

Pemeriksaan histologis beberapa saat setelah inokulasi dan selama periode inkubasi leptospira melakukan replikasi aktif di hati. Perwarnaan silver staining dan immunofluorescence dapat mengidentifikasi leptospira di hati, limpa, ginjal, CNS dan otot. Selama fase akut pemeriksaan histologi menunjukkan organisma tanpa banyak infiltrat inflamasi.

Diagnosis Banding
* Dengue Fever
* Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome
* Hepatitis
* Malaria
* Meningitis
* Mononucleosis, influenza
* Enteric fever
* Rickettsial disease
* Encephalitis
* Primary HIV infection

Tatalaksana
Terapi antimikrobial adalah pengobatan yang utama pada leptospirosis. Pada infeksi tidak dengan komplikasi tidak membutuhkan rawat inap. Penggunaan doksisiklin oral menunjukkan penurunan durasi demam. Rawat inap diperlukan untuk penderita dengan pemberian terapi penicillin G intravena sebagai pilihan utama.

Penelitian terakhir menunjukkan sefalosporin sama efektifnya dengan doksisiklin dan penisillin pada pengobatan fase akut. Eritromisin digunakan pada kasus kehamilan yang alergi terhadap penisillin sedangkan amoksisilin adalah terapi alternatif.

Pada kasus berat mengakibatkan gangguan beberapa organ dan gagal multiorgan. In addition to antimicrobials, therapy is supportive. Tatalaksana penderita yang paling penting adalah memonitor dengan cermat perubahan klinis karena berpotensi terjadi gangguan kolap kardiovaskular dan syok dapat terjadi secara cepat dan mendadak.

Fungsi ginjal harus dievaluasi secara cermat dan diperlukan dialisis pada kasus gagal ginjal. Pada umumnya kerusakan ginjal adalah reversibel jika penderita dapat bertahan dalam fase akut. Penyediaan ventilasi mekanik dan proteksi jalan napas harus tersedia bila terjadi gangguan pernapasan berat.

Pengawasan jantung secara terus menerus (continuous cardiac monitoring) untuk memantau keadaan yang dapat timbul seperti takikardia ventrikular (frekuensi denyut jantung yang berlebihan), kontraksi ventrikel prematur (premature ventricular contractions), fibrilasi atrial, flutter, dan takikardia.

Pencegahan
* Menghindari atau mengurangi kontak dengan hewan yang berpotensi terkena paparan air atau lahan yang dicemari kuman. Orang yang berisiko tinggi infeksi harus memakai sarung tangan, baju dan kacamata pelindung. Harus memperhatikan secara ketat kebersihan dan sanitasi lingkungan seperti kontrol hewan pengerat seperti tikus, dekontaminasi infeksi
* Penggunaan vaksinasi pada hewan dan manusia masih kontroversi.
* Kemoprofilaksis menunjukkan hasil yang efektif pada manusia dengan risiko tinggi seperti anggota militer atau wisatawan yang berkunjung di daerah endemik. Pemberian doksisiklin 250 mg peroral sekali seminggu, menunjukkan efikasi yang sangat baik. Tetapi pencegahan ini tidak dianjurkan untuk jangka panjang.

Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi tergantung dari perjalanan penyakit dan pengobatannya. Prognosis penderita dengan infeksi ringan sangat baik tetapi kasus yang lebih berat seringkali lebih buruk. 

(IndonesiaCom.Dr.Widodo Judarwanto SpA)